Tadabbur Surah Al-Baqarah ayat 114: Manusia Paling Dzalim

Marilah kita baca ayat Allah surah Al-Baqarah ayat 114 dan kemudian kita telaah maknanya. Allah berfirman:

وَمَنۡ اَظۡلَمُ مِمَّنۡ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰهِ اَنۡ يُّذۡكَرَ فِيۡهَا اسۡمُهٗ ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ مَا كَانَ لَهُمۡ اَنۡ يَّدۡخُلُوۡهَآ اِلَّا خَآٮِٕفِيۡنَ لَهُمۡ فِى الدُّنۡيَا خِزۡىٌ وَّلَهُمۡ فِى الۡاٰخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيۡمٌ

Artinya: Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang melarang di dalam masjid-masjid Allah untuk menyebut nama-Nya, dan berusaha merobohkannya? Mereka itu tidak pantas memasukinya kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka mendapat kehinaan di dunia dan di akhirat mendapat azab yang berat. (Q.S. Al-Baqarah/1:114).

Manusia yang dicap oleh Allah sebagai “manusia paling dzalim”

Al-Hafidz Ibnu Katsīr (774 H) dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Adzīm (1/292) menyebutkan perbedaan ahli tafsir dalam menentukkan siapa sebetulnya manusia yang dicap oleh Allah sebagai “manusia paling dzalim” pada ayat di atas”?

Pendapat imam Mujāhid

Pertama. Berdasarkan pendapat imam Mujāhid adalah orang-orang Nasrani, mereka dulu pernah melempar kotoran ke masjid Al-Aqsa, dan melarang orang beriman shalat di dalamnya. Ditambah lagi dengan penafsiran oleh Qatādah, perbuatan mereka itu, dilatarbelakangi oleh kebencian mereka terhadap Yahudi, dan penghancuran Baitul Maqdis dipelopori oleh tokoh yang bernama Bukhtanassar seorang pendeta Majusi.

Penafsiran Ibn Wahab

Kedua. Berdasarkan penafsiran Ibn Wahab, bahwa konteks ayat di atas ditujukan kepada orang-orang musyrik yang mencegat Rasulullah untuk masuk ke Makkah pada hari Hudaibiyah, sampai Nabi-shallallāhu ‘alaihi wa sallam– selesai menyembelih hewan hadyunya di Dzī Tuwā.

Dua inti yang diisyaratkan sebagai sifat manusia paling dzalim

Namun sepertinya kedua penafsiran di atas hanya menentukan kekhususan maksud ayat tersebut. Namun kalau kita cermati setidaknya ada dua inti yang diisyaratkan sebagai sifat manusia paling dzalim.

Pertama, terletak pada kalimat “مِمَّنۡ مَّنَعَ مَسٰجِدَ اللّٰهِ اَنۡ يُّذۡكَرَ فِيۡهَا اسۡمُه” kalau dilihat dari aspek kaidah ushul fiqih kata “siapa” pada ayat tersebut berlaku secara umum. Atas dasar ini, menurut Ibnu ‘Athiyah sebagaimana dinukil oleh Abū Hayyān al-Andalusī (754 H) dalam Al-Bahr Al-Muhit (1/572) bahwa ayat di atas mengecam siapa saja yang menghalangi orang masuk ke dalam masjid Allah. keumuman ayat di atas akan terus berlaku sepanjang masa. Sehingga orang-orang yang hari ini kita saksikan gemar menghalangi orang beribadah ke dalam masjid, atau menghalangi orang belajar di dalam masjid, maka sunggu ia telah masuk ke dalam golongan “manusia yang paling dzalim”.

Kedua, kalimat “وَسَعٰـى فِىۡ خَرَابِهَا” menurut Abū Hayyān al-Andalusī, bisa saja penghancuran itu secara fisik, sebagaimana dulu dilakukan oleh Bukhtanassar ketika menghancurkan Baitul Maqdis, bisa juga “penghancuran” itu dilakukan secara majāz dengan melarang kegiatan-kegiatan keagamaan di dalam masjid, sebagaimana kita saksikan hari di sebagian wilayah.

‘Ala kulli hāl. Tindakan sebagian manusia yang menghancurkan masjid-masjid Allah secara fisik, maupun dengan menghalangi kaum muslimin melakukan kegiatan ibadah di dalamnya merupakan manusia yang dicap oleh Allah sebagai “manusia paling dzalim”.

Newsletter

Get latest news & update