Akhir-akhir ini sedang viral polemik dan pembahasan sekolah mahal. Tapi ditengah-tengah polemik itu, yang harus disyukuri oleh orang tua adalah diberikan hidayah serta kesungguhan oleh Allah untuk mendidik dan menyekolahkan anak di sekolah yang berbasis agama sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah walaupun masih dengan penuh kekurangan.
Mendidik dan menyekolahkan anak tidak melulu berhubungan dengan finansial. Memang dana pendidikan merupakan salah satu instrumen penting dalam proses pendidikan sebagai perkataan dari imam Syafii yang masyhur mengenai bekal menuntut ilmu. Tapi yang paling penting di antara semua itu adalah keikhlasan dan kejujuran orang tua dalam mendidik anak. Banyak orang kaya, punya modal besar, tapi tidak diberikan taufiq oleh Allah sehingga anaknya tidak berminat belajar agama. Banyak juga orang kaya, tapi anaknya tidak mau sekolah atau belajar. Tapi kebalikannya, banyak orang-orang yang ekonominya di bawah standar, tapi dengan keikhlasan orang tuanya, anaknya bisa sukses dalam belajar agama Allah. Hal ini sering kita jumpai dalam biografi ulama-ulama besar dari kalangan salaf.
Maka yang kita butuhkan sebagai orang tua dalam mendidik anak adalah ketaqwaan, kesungguhan, keikhlasan dan kejujuran. Maka dengan izin Allah, yang mahal bisa jadi murah, yang susah akan mudah, yang jahil akan menjadi alim. “Siapa yang bertakwa kepada Alla, Allah akan memberikan baginya jalan keluar, dan memberinya rezekinya dari arah yang dia tidak menyangka”.
Ulama salaf memiliki kegigihan yang besar dalam mendidik, dan memberikan biaya pendidikan untuk anak-anaknya. Memang secara hukum asal, orang tualah yang berkewajiban mendidik anaknya ilmu agama. Sebab Nabi-shallallahu alaiahi wa sallam bersabda:
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Dari Abdullah bin Umar berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut." Aku menduga Ibnu 'Umar menyebutkan: "Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas harta bapaknya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya”. (H.R. Bukhari).
Al-Khatib al-Bagdadi di dalam “al-Faqih wa al-Mutafaqqih” (hal. 49) meriwayatkan dengan sanadnya bahwa Abdullah bin Umar menyuruh seseorang untuk mendidik anaknya: “ajarilah anakmu tentang adab, sebab engkau akan diminta pertanggungjawaban atas pendidikan yang engkau berikan kepada anakmu, dan anakmu akan diminta pertanggungjawaban atas baktinya kepadamu”.
Anas bin Malik mengatakan sebagaimana dalam “Syarah Ushul ‘Itiqad Ahlussunnah” (hal. 1240) orang-orang salaf selalu mengajarkan kepada anak-anak mereka tentang cinta kepada Abu Bakar dan Umar sebagaimana mereka mengajarkan surah dari Al-Qur’an.
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal sebagaimana dalam “Manaqib al-Imam Ahmad” (hal. 496) yang ditulis oleh imam Ibnu al-Jauzi berkata: Ayahku Ahmad bin Hanbal mentalqinkan semua Al-Qur’an kepadaku atas dasar keinginannya”.
Bahkan mereka memaksa anak-anak mereka untuk mempelajari hadits-hadits Rasulullah dari para guru. Di dalam kitab “Syaraf Ashabul Hadits” (hal. 65) bahwa Abdullah bin Dawud berkata: Selayaknya orang tua memaksakan anaknya untuk mendengarkan hadits. Lalu ia berkata: Agama ini bukan omongan seseorang, tapi agama ini berdasarkan atsar.
Kalaupun ulama salaf dan orang-orang shalih dari kalangan salaf tidak bisa mengajari anak-anak mereka secara langsung tentang agama Allah, maka mereka mengirimkan anak-anak mereka untuk duduk di majlis ulama, agar mereka bisa belajar secara basic, sistematis, dan kontinyu. Dengan mendatangi majlisnya ulama, mereka bisa mendengarkan, mencatat, dan bertanya secara langsung.
Disebutkan oleh Az-Dzahabi dalam “Siyar ‘Alam a-Nubala” (5/116) bahwa Abdul Aziz bin Marwan mengirimkan anaknya Umar bin Abdil Aziz untuk belajar adab di Madinah, dan ia menulis surat kepada Shalih bin Kaisan agar ia benar-benar mendidik anaknya dan memantau shalat wajibnya. Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz masbuk dalam shalat. Lalu gurunya bertanya: Apa yang membuatmu terlambat? Ia menjawab: Saya kesusahan merapikan rambutku? Gurunya berkata: Apakah karena merapikan rambut, kamu terlambat shalat? Lalu gurunya mengirimkan surat kepada ayahnya mengenai kasus itu. Kemudian ayahnya mengirimkan utusan kepada Umar bin Abdil Aziz, dan utusan ini sama sekali tidak mau berbicara dengannya sampai ia mencukur rambutnya”.
Al-Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dalam “Al-Kifayah” (hal. 155) dari Abi Ashim ia berkata: Saya pergi bersama anakku menuju majlis Ibnu Juraij, sedangkan anakku itu masih berumur kurang lebih tiga tahun. Agar anak ini belajar dari gurunya akan hadits dan Al-Qur’an. Lalu Abu Ashim berkata: Tidak mengapa anak seumuran ini diajarkan mengenai hadits dan Al-Qur’an.
Untuk itu, kebahagian orang tua di masa salaf adalah ketika anaknya berkesempatan duduk di majlis ilmu dan belajar dari para masyaikh dan ulama. Disebutkan oleh imam Az-Dzahabi dalam “Siyar Alam” (13/222) mengenai biografi Abdullah bin Sulaiman al-Asy’ats. Guru yang pertama mengajarkan ilmu kepadanya adalah Muhammad bin Aslam. Dan itu membuat ayahnya sangat bahagia, karena guru yang pertama diambil ilmunya adalah seorang alim dikenal dengan kemulian dan keshalihannya.
Dalam “Tarikh Bagdad” (14/192) Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: Saat pertama Yahya bin Aktsam (diumurnya yang masih kecil) belajar ilmu dari Abdullah bin Mubarak, ayahnya membuat makanan dan diundanglah para tetangga dan orang-orang disekitar itu. Lalu ayahnya mengumumkan di hadapan tamu undangan: Coba kalian saksikan anak yang masih kecil ini telah belajar dengan Abdullah bin Mubarak”.
Inilah potret ulama salaf tentang kebahagiaan mereka dalam mendidik maupun menyekolahkan anak-anak mereka di majlis ulama dan masyaikh. Maka alangkah bahagianya, jika ada orang tua dengan jerih payahnya mendidik atau menyekolahkan anak-anaknya di majlis ilmu yang diajarkan di dalamnya Al-Qur’an, sunnah, sejarah sahabat dan ilmu agama lainnya.