Manusia diberikan fitrah untuk mencintai anaknya, tidak ada manusia yang normal akal fikirannya kecuali ia pasti menyayangi anaknya. Bahkan sekelas Fira’un yang dicap sebagai manusia terjahat sepanjang sejarah manusia pun ketika disodorkan kepadanya seorang anak kecil yang bernama Musa alaihissalam, hati kecilnya menerima dan menyayangi Musa yang waktu itu masih bayi.
Kecintaan orang tua terhadap anaknya dibuktikan dengan kesungguhan orang tuanya dalam memberikan pendidikan yang terbaik buat anaknya. Luqman adalah sebagai icon pendidik terbaik yang dikisahkan oleh Al-Qur’an. Pendidikan tauhid dan akidah yang diperankan oleh Luqman sebagai bukti besarnya kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Sebagaimana tercantum dalam Q.S. Luqman: 12:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji”. (QS. Luqman: 12).
Tentunya pendidikan yang baik, harus dimulai dari orang tua. Artinya orang tua harus menjadi motor penggerak semangat belajar anak. Menurut penjelasan syaikh Ali Farkus, bahwa konsep dalam mencetak kepribadian anak harus dimulai dari orang tua. Orang tua harus menjadi contoh bagi keteledaan anak-anak dalam belajar. Sebab orang tua adalah manusia terdekat bagi anak-anak”. (Syaikh Muhammad Ali Farkus, tarbiyat al-abna wa usus ta’hilihim, h. 19).
Pentingnya Orang Tua Juga Belajar
Namun faktanya hari ini banyak orang tua yang salah persepsi dalam memberikan pendidikan kepada anaknya. Kesungguhan orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya, sering kali membuat mereka lupa mendidik mereka sendiri. Pendidikan orang tua terhadap diri mereka sendiri, haruslah lebih priopritas sebelum menentukan arah pendidikan anak.
Banyak orang tua hari ini, semangat menyekolahkan anak-anak mereka, bahkan rela membayar biaya pendidikan yang tinggi agar anaknya mendapatkan suplay pendidikan yang bagus. Memang hal itu merupakan langkah yang tepat. Namun di satu sisi, sebagian orang tua hanya sibuk mencari nafkah, sibuk mengumpulkan biaya pendidikan anaknya, tanpa ada keperdulian terhadap perkembangan ilmu agama mereka. Dan yang lebih berbahaya daripada itu adalah ketika orang tua sering tidak memperhatikan ibadahnya, bahkan rela bermaksiat kepada kepada Allah, dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan biaya pendidikan. Syaikh Ali Farkus mengutip sebuah istilah yang cukup bagus:
متى يستقيم الظل والعود أعوج
“Kapan bayangan akan lurus, padahal tangkainya lebih bengkoknya”.
Ungkapan ini menggambarkan bagaimana mungkin bayangan itu akan lurus, tangkainya saja bengkok. Bagaimana mungkin anak itu akan lurus, jika orang tuanya saja bengkok dan berpaling dari kebenaran. Bagaimana mungkin anak akan mendapatkan ilmu yang baik, sedangkan orang tuanya saja tidak memiliki ilmu untuk mengarahkan hendak kemana ilmu anak itu akan dituju. Memang jika hanya ilmu dunia yang dicari, bisa saja ia cukup berkaca dengan orang-orang yang sukses terhadap dunia.
Tapi sebagai seorang mukmin, ia pasti tau bahwa ilmu tauhid adalah puncak pendidikan tertinggi. Jika ia tidak orang tua tidak mau belajar dan duduk di majelis ilmu, bagaimana ia paham akan tauhid? Bagaimana ia bisa selektif memiliki guru dan lembaga pendidikan? Jika ia tidak punya ilmu bagaimana ia akan menanamkan mindset tentang penting ilmu? Kalau boleh mengibaratkan “orang tua yang memberikan pendidikan kepada anaknya, tetapi lupa mendidik dirinya, ibarat lilin yang menerangi orang lain, namun membakar dirinya sendiri”.
Akibatnya banyak orang tua, hanya menyerahkan sepenuhnya kepada guru atau sekolah, kemudian tidak sedikit orang tua yang marah-marah akibat nilai anaknya yang rendah, tidak sesuai dengan target. Ia mengira dengan kesanggupannya membayar biaya sekolah yang mahal, kemudian kewajibannya dalam mendidik lepas begitu saja. Ini merupakan kekeliruan yang fatal, kalaulah kita lihat manhaj Al-Qur’an, maka kita akan menemukan bahwa orang tua merupakan sosok guru utama bagi anak. Kita baca saja misalkan Q.S. Luqman: 12:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu, ”Bersyukurlah kepada Allah! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman: 12).
Apa itu Hikmah?
Kita lihat bagaimana manhaj Al-Qur’an mengisyaratkan metode dalam mendidik anak. Sebelum Luqman mengajari anaknya, ternyata Allah telah lebih dulu memberikan hikmah kepada Luqman. Lalu apa itu hikmah yang Allah berikan kepada Luqman? Al-Hafidz Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsir Al-Qur’an Al-Adzim (3/626), imam Ali Syaukani (1250 H) dalam fath al-qadir (2/11410, dan syaikh As-Sa’di dalam taisir al-karim ar-rahman (617) menyebutkan bahwa pengertian hikmah adalah ilmu dan pemahaman yang kuat terhadap kebenaran.
Artinya bahwa Luqman sebagai seorang ayah tidak memberikan Pendidikan kepada anaknya sebelum ia sendiri memiliki dasar ilmu. Konsep dasar ini sesuai dengan firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”…(Q.S. Tahrim:6).
Imam Mujahid menjelaskan bahwa hendaklah kalian lebih dulu mewasiatkan diri kalian dengan takwa dan kemudian keluarga kalian, dan hendaklah kalian turun tangan mengajari mereka tentang etika dan adab, sebab tidak ada yang dapat merasakan nikmatnya bahagia kecuali bagi orang telah lebih dulu menderita, tidak pula ada yang dapat merasakan manisnya kerinduan kecuali bagi mereka yang merasakan pahitnya dalam mendidik”. (Mus’ad Husain Muhammad, tarbiyat al-aulad fi al-islam, h. 51).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَالَ ثَلاثَ بَنَاتٍ فَأَدَّبَهُنَّ وَزَوَّجَهُنَّ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang memiliki tanggungan tiga anak perempuan lalu mengajari mereka, menikahkan mereka, dan berbuat baik kepada mereka, maka baginya surga”. (H.R. Abu Dawud 5149 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih jami’/ 4512).
Ayat dan hadits di atas menjadi dasar bahwa orang tua harus lebih dulu belajar untuk diri mereka sendiri, dan kemudian berpartisipasi dalam mendidik anak, mulai dari pendidikan tauhid, pendidikan cinta kepada Nabi dan Sunnahnya, dan cinta kepada para sahabat. Setidaknya, pentingnya ilmu bagi orang tua, dapat dilihat pada dua point. Pertama, agar orang tua dapat mengarahkan anak-anaknya agar menuju pendidikan yang berbasis kepada orientasi akhirat. Kedua, agar orang tua tidak salah dalam memilih guru dan lembaga pendidikan.
Semoga bermanfaat.