Tidak boleh mengkafirkan pelaku dosa besar, selama ia tidak menghalalkan dosa besar yang ia lakukan itu. Pelaku dosa besar karena kebodohannya atau hawa nafsunya berada di bawah kekuasaan Allah.
Allah berfirman: An-Nisa 116:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَمَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا ۢ بَعِيْدًا
“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali”.(Q.S. An-Nisa: 116).
Syaikh As-sadi dalam Tafsirnya (h. 203) mengatakan “Syirik tidak diampuni oleh Allah, karena pelaku syirik telah merusak hakikat Rububiyah Allah, selain itu ia telah menyamakan Allah dengan makhluk yang tidak punya daya dan upaya. Adapun selain syirik berupa dosa dan maksiat. Maka berada di bahwa kekuasaan Allah. Jika Allah ingin, Allah ampuni dengan rahmat dan hikmah-Nya, dan jika Allah mengazab, Allah azab sesuai dengan kesempurnaan keadilan-Nya.
Syaikh Islam Ibnu Taimiyah Majmu’Fatawa (3/231) mengatakan “surah An-Nisa ayat 116 tidak boleh diterapkan pada hamba yang bertaubat. Karena hamba yang bertaubat kepada Allah atas dosa syiriknya, maka Allah akan mengampuninya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surah Az-Zumar 53:
قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.(Q.S. Az-Zumar: 53)
Imam Al-Barbahari dalam Syarh As-Sunnah (h. 35) berkata “shalat atas seorang ahli qiblat (muslim) hukumnya sunnah, baik mati karena dirajam setelah berzina, atau orang yang mati bunuh diri. Dan tidak boleh mengeluarkan seseorang dari Islam, kecuali orang itu menolak salah satu ayat Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah, atau ia menyembah kepada selain Allah, menyembelih kepada selain Allah. Jika ia sudah melakukan itu baru boleh dikatakan keluar dari Islam. Akan tetapi jika perbuatannya belum sampai pada tingkatan itu, ia tetap dikatakan sebagai seorang mukmin dan muslim, walaupun sekedar namanya saja.
Tidak Memberontak Terhadap Penguasa Muslim Baik Dalam Bentuk Tulisan, Lisan Maupun Tindakan
Wajib bagi setiap muslim untuk tetap taat kepada penguasa muslim dalam kebaikan, yakni ketaatan dalam rangka kebaikan dan bukan kemaksiatan. Sekalipun penguasa itu zalim atau fasiq, maka haram hukumnya melakukan pemberontakan baik secara lisan, tulisan maupun tindakan. Prinsip ini didasari oleh ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah:
Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa: 59)
Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
عَنۡ أُمِّ سَلَمَةَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَالَ: (سَتَكُونُ أُمَرَاءُ، فَتَعۡرِفُونَ وَتُنۡكِرُونَ، فَمَنۡ عَرَفَ بَرِىءَ. وَمَنۡ أَنۡكَرَ سَلِمَ. وَلٰكِنۡ مَنۡ رَضِيَ وَتَابَعَ). قَالُوا: أَفَلَا نُقَاتِلُهُمۡ؟ قَالَ: (لَا، مَا صَلَّوۡا).
“Dari Umu Salamah; bahwa Rasulullah—shallallahu ‘alaihi wa sallam—bersabda, “Kelak akan ada umara yang melakukan perbuatan makruf yang kalian ketahui, namun juga melakukan perbuatan mungkar yang kalian ingkari. Barang siapa yang mengetahui (kemungkaran tersebut dan membenci dengan hatinya), maka dia telah berlepas diri (dari perbuatan tersebut dan pelakunya). Barang siapa yang mengingkari (dengan hatinya), maka dia telah selamat. Akan tetapi (yang berdosa adalah) orang yang rida dan ikut melakukannya.” (HR. Muslim/1854).
Al-Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim (6/470) “Jangan kalian memberontak kepada penguasa atas kekuasaan mereka, jangan pula kalian melawan, kecuali jika kalian melihat dari perbuataan mereka sesuatu yang mungkar secara jelas yang kalian pahami berdasarkan kaidah-kaidah Islam. Jika kalian melihat-kemungkaran yang nyata itu-maka kalian harus mengingkarinya, dan sampaikanlah mana yang benar. Akan tetapi memberontak kepada penguasa dan memerangi mereka hukumnya haram atas kesepakatan kaum muslimin, sekalipun penguasa itu dzalim dan fasiq”.
Al-hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fath Al-Bari (13/124) “sejarah telah mencatat bahwa khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq telah melakukan bid’ah dengan mengatakan Al-Qur’an sebagai makhluk. Dengan kebijakan itu mereka telah menghukum banyak ulama dengan membunuh, memukul dan memenjarakan mereka. Akan tetapi tidak ada di antara ulama Ahlussunnah yang mengatakan untuk melakukan pemberontakan terhadap mereka (para penguasa). Padahal kebijakan itu berlangsung selama kurang lebih 10 tahun, hingga masa kekuasaan mereka digantikan oleh Al-Mutawakkil, kemudian menghapus kebijakan itu dan mulai menghidupkan sunnah”.
Beribadah Kepada Allah Sesuai Dengan Perintah Allah Dan Tuntunan Rasulullah
Banyak di kalangan Ahlussunnah wal Jamaah baik, dari mulai para sahabat, tabiin, hingga ulama-ulama setelah mereka yang ahli dalam ibadah, zuhud terhadap dunia. Dan kesungguhan mereka itu senantiasa diukur dengan tuntunan Rasulullah. Hal ini berbeda dengan Khawarij, di mana mereka kelihatan banyak ibadahnya, namun minim ilmunya. Bahkan mereka banyak yang sudah hafal Al-Qur’an, tetapi meninggalkan sunnah Rasulullah. Banyaknya hafalan Al-Qur’an mereka manfaatnya tidak sampai pada tenggorokan.
Al-Qur’an Dan Sunnah Adalah Dalil
Inilah perbedaan mendasar antara Ahlussunnah wal Jama’ah dengan Khawarij. Ahlussunnah wal Jam’ah meyakini sepenuhnya akan kebenaran Al-Qur’an dan kebenaran Sunnah. Walaupun sunnah tersebut bersifat ahad, selama ia derajatnya shahih, maka mereka tetap meyakini dan mengamalkannnya. Dan sekalipun dalil tersebut secara zahir bertentangan dengan rasio akal manusia. Berbeda dengan Khawarij, mereka menggunakan Al-Qur’an hanya untuk kepentingan ambisi mereka. Bahkan tidak sedikit dari sunnah-sunnah Rasulullah yang mereka tolak. Padahal Al-Qur’an secara jelas mengatakan wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, dan tidak membedakan mana yang ahad dan mana yang mutawatir.
Allah berfirman:
وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya”. (QS. Al-Hasyar: 7).
Tidakkah mereka membaca ayat ini dengan jelas dan penuh tadabbur?
Tidak Menghalalkan Darah Kaum Muslimin
Prinsip ahlussunnah wal Jama’ah begini “jangankan menghalalkan darah kaum muslimin, memprank atau mengancam dengan tujuan bercanda saja tidak boleh, apalagi sampai pada tahap meneror, membunuh”. Sedangkan prinsip Khawarij, ketika seseorang melakukan dosa besar seperti makan riba, durhaka kepada orang tua, dsb, maka boleh untuk dihalalkan darahnya. Sebab menurut mereka pelaku dosa besar itu keluar dari Islam, dan jika keluar dari Islam, maka halallah darahnya.
Dan ini bertentangan dengan petunjuk Rasulullah. Rasulullah bersabda:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رضي الله تعالى عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلَاثٍ: الثَّيِّب الزَّانِي، والنَّفْس بِالنَّفْسِ، والتَّارِك لِدِينِهِ الْمُفَارِق لِلْجَمَاعَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Tidak halal darah seorang muslim (untuk ditumpahkan)-yang mengucapkan asyhadu alla ilaha illa Alloh wa syhadu anni Rasulullah, kecuali karena salah satu dari 3 perkara: tsayyib (orang yang sudah menikah) yang berzina, jiwa dengan jiwa (qishash) dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) serta memisahkan diri dari jama’ah (kaum muslimin).” (HR. Muttafaqun ‘Alaihi).
Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim (6/186) berkata “banyak hadits yang menunjukkan betapa kerasnya larangan atau pengharaman terhadap harta, darah, dan kehormatan kaum muslimin”.
Adanya Syafaat Bagi Rasulullah Untuk Umatnya
Hadits-hadits tentang syafaat, begitu banyak ditemukan yang bersifat mutawatir. Tetapi tetap saja kelompok Khawarij dan Mu’tazilah mengingkarinya. Ini menunjukkannya akan kejahilan mereka tentang hadits-hadits syafaat. Di antaranya hadits yang begitu panjang yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dalam shahih mereka dari jalur sahabat Abu Hurairah-radiallahu ‘anhu. Begitu juga hadits Rasulullah tentang kabar bahwa beliaulah orang yang pertama mendapatkan syafaat.
Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا أَوَّلُ شَفِيعٍ فِي الْجَنَّةِ
“Aku adalah orang yang pertama memberi syafaat di surga”. (HR. Muslim).
Rasulullah juga memberikan syafaat kepada pelaku dosa besar yang tidak melakukan kesyirikan kepada Allah sedikitpun.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (شَفَاعَتِي لأَهْلِ الكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي)
“Dari Anas ia berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Syafaatku kepada pelaku dosa besar dari umatku”. (HR. Ahmad dalam musnad 3/213)
Allohu ‘alam.