عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Dari Salim bin Abdullah dia berkata; saya mendengar Abu Hurairah berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang menampak-nampakkannya dan sesungguhnya diantara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya kemudian di waktu pagi dia berkata: 'Wahai fulan semalam aku telah melakukan ini dan itu, ' padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
SYARAH RINGKAS
Hadits ini diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam Shahihnya, kitab al-adab, bab sitr al-mu’min ‘ala nafsihi, no. 6069, dan Imam Muslim dalam Shahihnya, kitab az-Zuhd wa ar-Raqaiq, bab an-nahy ‘an hatk al-insan satr nafsihi, no. 2990.
Hadits ini secara tegas dan jelas bahwa Allah telah memaafkan setiap umat Nabi-shallallahu alaihi wa sallam, kecuali orang yang memiliki sifat mujaharah. Syaikh Ibnu Utsaimin dalam “Syarah Riyadh Shalihin” (3/16-17) menjelaskan bahwa sifat mujaharah adalah sifat menampakkan maksiat kepada Allah. Setidaknya ada dua karakteristik yang disebut mujahirin:
Pertama. Seseorang yang melakukan kemaksiatan secara terang-terangan, dan ia melakukannya di hadapan manusia. Maka ini tidak diragukan lagi, tidak akan dimaafkan oleh Allah. Sebab, ia telah menarik dirinya dan orang lain terhadap kebinasaan. Adapun ia menarik dirinya terhadap kebinasaan adalah bahwa setiap orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah mendzalimi dirinya. Allah berfirman:
وَمَا ظَلَمُوۡنَا وَلٰـكِنۡ كَانُوۡآ اَنۡفُسَهُمۡ يَظۡلِمُوۡنَ“
…Mereka tidak menzhalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzhalimi diri sendiri”. (Q.S. Al-Baqarah: 57).
Karena jiwa raga manusia adalah amanah, bukan milik pribadi melainkan titipan Allah yang di dalamnya ada hak yang harus dijaga. Di antara hak jiwa yang harus dijaga adalah tidak bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun ia disebut dzalim kepada orang lain, sebab orang lain yang melihat dia melakukan maksiat bisa jadi termotivasi untuk melakukan kemaksiatan yang sama juga. Untuk itu, jangan sampai kita dijadikan sebagai pemimpin yang menyeru kepada neraka, sebagaimana Allah menjadikan Fir’aun sebagai pemimpin yang mengajak kepada nereka. Allah berfirman:
وَجَعَلْنٰهُمْ اَىِٕمَّةً يَّدْعُوْنَ اِلَى النَّارِۚ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ لَا يُنْصَرُوْنَ
“Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke neraka dan pada hari Kiamat mereka tidak akan ditolong”. (Q.S. Al-Qasas: 41).
Kedua. Seseorang yang melakukan kemaksiatan di malam hari, lalu Allah menutupinya, dan seseorang yang melakukan kemaksiatan di rumahnya, lalu ditutupi oleh Allah, dan tidak ada satupun manusia yang melihatnya, jika seandainya ia bertaubat kepada Rabb-nya, maka itu lebih baik baginya. Namun sayang, di siang harinya ia bergabung dengan manusia, sembari dengan bangganya ia menceritakan kemaksiatan yang telah ia lakukan. Orang yang seperti ini tidak akan dimaafkan oleh Allah.
Orang yang semacam ini, kemungkinan ia lalai dan tidak peduli terhadap segala sesuatu. Orang ini biasanya dengan cepatnya ia menceritakan apa yang terjadi di dalamnya dirinya berupa aib dan keburukan. Bisa juga orang yang semacam ini, adalah orang yang sombong tidak memiliki rasa takut kepada Allah. Ia bermaksiat kepada Allah, lalu ia menceritakannya, seolah-olah ia sedang mendapat harta karun, saking bangganya ia menceritakan kemaksiatan yang ia telah lakukan.
Maka hadits di atas mengajarkan kepada kita untuk menutupi segala aib dan dosa yang pernah dilakukan. Sebergelimang apapun seseorang atas dosa yang pernah ia lakukan, cukuplah itu antara dirinya dengan Allah. Bertaubat kepada Allah, dan tutupi segala dosa yang pernah bersimbah di dalamnya. Dan bersyukur kepada Allah karena telah menutupi dan memaafkan dosa-dosa masa lalu.