Semua para da’i/ustadz wajib menyampaikan kepada jama’ahnya, guru kepada muridnya agar jangan berlebihan dalam memujinya, mengangungkannya baik di media social maupun di dunia nyata. Sebab dengan pujian yang berlebihan akan menyebabkan kepada ghuluw. Sebagaimana kita ketahui ghuluw kepada orang-orang shalih adalah penyebab kesyirikan terbesar yang menimpa umat terdahulu.
Allah berfirman:
وَقَالُوْا لَا تَذَرُنَّ اٰلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَّلَا سُوَاعًا ەۙ وَّلَا يَغُوْثَ وَيَعُوْقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa‘, Yagus, Ya‘uq dan Nasr.” (Q.S. Nuh: 23).
Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya (4/625) dulu mereka adalah kaum orang-orang shalih yang hidup antara masa Nabi Adam dan Nuh, dan mereka punya pengikut yang senantiasa mencontoh mereka. Dan ketika mereka sudah mati, pengikutnya mengatakan “bagaimana kalau kita buatkan patung untuk mereka, niscaya kita akan semakin rajin untuk beribadah”.
Sebagian manusia memuji orang-orang shalih, para dai, dengan pujian yang berlebihan, dan terkadang sampai menganggap mereka sebagaimana manusia yang ma’sum (terlepas dari dosa). Padahal hakikatnya ini merupakan wasilah terjatuhnya seseorang kepada ghuluw yang berujung kepada kesyirikan.
Bahkan Dr. As-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani dalam kitab Al-Guluw fi ad-din: dzawahir min ghuluw at-tatarruf wa ghuluw at-tasawwuf (h. 46) mengatakan bahwa sikap ghuluw terhadap orang-orang yang dianggap shalih atau wali telah sampai pada titik dimana mereka takut kepada orang-orang tersebut. Melebihi daripada itu, sebagian mereka meyakini bahwa wali-wali yang sudah wafat tersebut dapat kembali dari kuburan mereka, dan meyakini bahwa mereka (wali-wali yang sudah wafatnya) punya maqam tersendiri yang dapat memberi manfaat bagi yang senang dengan mereka, dan dapat memberi mudarat bagi yang benci kepada mereka.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memuji beliau dengan pujian yang berlebihan.
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله
“Janganlah kalian memujiku dengan cara yang berlebihan, sebagaimana orang-orang Nashrani memuji secara berlebihan kepada Ibnu Maryam. Tapi cukup katakan hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari).
Jika Rasulullah saja sebagai manusia terbaik sepanjang jaman dilarang untuk dipuji berlebihan apalagi hanya sekedera manusia biasa seperti da’I, Ustadz atau kyai.
Mencintai Orang-Orang Shalih Itu Fitrah
Tidak bisa dibantah bahwa Ahlussunnah mencintai orang-orang shalih, mencintai ahli ilmu, karena ketaatan mereka kepada Allah, karena itu memang fitrah manusia. Namun Ahlussunnah wal Jamaah memiliki prinsip yakni tidak bermudah-mudah dalam memuji.
Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
عن أبي بكرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أن رجلاً ذكر عند النبي صلى الله عليه وسلم فأثنى عليه رجل خيراً فقال النبي صلى الله عليه وسلم: «ويحك! قطعت عنق صاحبك..» -يقوله مراراً- «إن كان أحدكم مادحاً لا محالة فليقل: أحسب كذا وكذا إن كان يُرى أنه كذلك، وحسيبه اللَّه ولا يزكى على اللَّه أحد
“Dari Abi Bakrah-radiallahu anhu-bahwa ada seorang laki-laki memuji orang lain atas kebaikannya di hadapan Rasulullah, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Celakalah dirimu, engkau telah memotong leher saudaramu”. Beliau mengucapkan itu berkali-kali. “Jika di antara kalian ingin memuji, maka tidak mengapa, tetapi ucapkanlah: “Saya mengira dia begini dan begitu, jika memang ia seperti itu. Dan yang akan menghisabnya adalah Allah, dan ia tidak boleh mensucikan seseorang di hadapan Allah”. (Muttafaqun alaih).
Ini merupakan peringatan keras bagi orang yang suka memuji orang lain. Bahkan disebutkan dalam riwayat lain bahwa Rasulullah dengan keras mengancam orang yang senang memuji orang lain.
Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-bersabda:
إذا رأيتم المداحين فاحثوا في وجوههم التراب
“Jika kalian melihat orang-orang yang suka memuji, maka lemparkanlah tanah pada wajah-wajah mereka”.(HR. Muslim).
Sejatinya mencintai para Nabi-alaihimussalam-dan orang-orang shalih, para wali, ulama, agar tidak terjadi pada ghuluw, cukup dengan memperhatikan poin-poin di bawah ini:
- Memuliakan mereka
- Mengucapkan tarahhum (rahimahullah) atas orang-orang shalih yang sudah wafat
- Menyebutkan perjalanan ketaatan mereka dan menjadikannya sebagai contoh
- Bersahabat dengan mereka
- Meminta agar didoakan oleh mereka
- Mengingatkan mereka jika memang terdapat kesalahan (khusus selain Nabi dan Rasul)
- Mengajak manusia kepada apa yang dapat memotivasi untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya
Di antara perintah Rasulullah-shallallahu alaihi wa sallam-agar berteman dengan orang-orang shalih dan meminta didoakan oleh mereka adalah apa yang diriwayatkan oleh Umar:
عن عمر-رضي الله عنه- قَالَ: إنِّي سَمِعْتُ رَسُول الله ﷺ يقول: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ, وَلَهُ وَالِدَةٌ، وَكَانَ بِهِ بَيَاضٌ, فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ.
“Dari Umar-radiallahu ‘anhu-berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik tabi’in adalah seorang laki-laki yang bernama Uwais, ia memiliki seorang ibu. Di dalam dirinya ada tanda berwarna putih. Jika kalian bertemu, maka mintalah agar supaya ia mendoakan ampunan untuk kalian” (HR. Muslim/2542).
Semoga Bermanfaat. Allohu ‘Alam.