Imam Nawawi dalam salah satu bab mengatakan “bab tentang larangan melakukan bid’ah dan perkara-perkara yang diada-ada (dalam agama”. Ini menunjukkan bahwa imam Nawawi telah memperingatkan umat ini agar menjauhi segala bentuk bid’ah dalam agama.
Apa bahayanya melakukan bid’ah dalam masalah agama? Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa ketika ia melakukan suatu bid’ah, maka sesungguhnya ia telah terjatuh pada perkara-perkara terlarang.
Syaikh Utsaimin-rahimahullah dalam Syarah Riyadhussalihin (2/230-234) menjelaskan, setidaknya ada tujuh bahaya dalam perkara bid’ah, yaitu:
Pertama. Perbuatan melakukan perkara baru dalam agama merupakan kesesatan berdasarkan nash al-Qur’an dan sunnah.
Memang tak pernah disebut dalam Al-Qur’an “setiap bidah yang dilakukan oleh manusia itu sesat”, tapi secara jelas kita tau bahwa ayat Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah ini sudah sempurna. Sempurna itu secara bahasa kita artinya tidak kekurangan dan tidak kelebihan. Tentu membuat perkara yang baru setelah Rasulullah adalah upaya menambahkan ajaran Islam ini, dan apabila upaya itu dilakukan, berarti sama saja menuduh agama ini belum sempurna. Oleh karena itu Allah menegaskan:
فَذٰلِكُمُ اللّٰهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّۚ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ اِلَّا الضَّلٰلُ ۖفَاَنّٰى تُصْرَفُوْنَ
Maka itulah Allah, Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)? (QS. Yunus: 32).
Kedua. Melakukan suatu bid’ah berarti jauh dari mendapatkan kecintaan Allah.
Sebab untuk meraih cinta Allah harus mengikuti sunnah Nabi, sedangkan melakukan bid’ah sama saja keluar dari sunnah Nabi-shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. Ali Imran: 31).
Ketiga. Dengan melakukan amalan bidah berarti telah mengurangi hakikat kesempurnaan syahadah kepada Rasulullah.
Karena bentuk kesempurnaan syahadah kepada Rasulullah adalah dengan beribadah sesuai dengan tuntunannya, dengan tidak menambahi dan tidak pula mengurangi. Siapa yang mengurangi dan menambahi syariat ini padahal tidak ada dasarnya dari Rasulullah, pada hakikatnya ia telah menganggap agama ini masih belum sempurna. Pada saat itu ia telah kehilangan kesempurnaan syahadah kepada Rasulullah.
Keempat. Hakikat daripada amalan bidah adalah mencela ajaran Islam. Karena yang melakukan bid’ah itu ia mengira islam belum sempurna. Sehingga ia membuat amalan bid’ah dengan sangkaan bahwa bid’ahnya ia buat itulah penyempurna Islam. Tentu ini merupakan bentuk penghinaan terhadap ajaran Islam. Walaupun hinaan itu tidak dalam bentuk ucapan, tetapi hinaan itu tergambar melalui perbuatan. Karena logikanya, orang yang membuat-buat bid’ah berarti mengira bahwa Rasulullah dan para sahabat telah lalai, sehingga menurutnya perlu penambahan atas kelalaian Rasulullah dan para sahabat tersebut. Wal ‘iyadzu billah.
Kelima. Amalan bid’ah berpotensi menciptakan perpecahan di antara umat Islam.
Sebab seandainya satu orang saja membuat suatu amalan bid’ah, lalu pasti akan diikuti oleh orang lain dengan bentuk yang mungkin berbeda. Sehingga setiap orang akan datang dengan bid’ahnya masing-masing sesuai selera dan hawa nafsunya. Nah ini akan menimbulkan perpecahan umat muslimin. Padahal al-Qur’an dan sunnah datang agar kaum muslimin bersatu di bahwa naungan keduanya, sehingga tidak ada amalan yang berbeda kaum di antara muslimin, sebab tuntunannya sama, yaitu Al-Qur’an dan sunnah.
Namun faktanya hari ini kita melihat sebagian orang lebih bangga berada di suatu kelompok tertentu dari pada berada di bawah naungan sunnah Rasulullah. Bahkan mereka lebih bangga mengikuti tokoh tertentu daripada mengikuti Rasulullah dan para sahabat. Al-Quran telah menggambar mereka:
مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Al-Rum: 32).
Keenam: Jika suatu amalan bid’ah semakin menyebar, itu artinya amalan sunnah akan redup dengan sendirinya.
Karena bidah tidak akan pernah bersatu dalam satu keadaan, sebagaimana tidak mungkin bersatu antara syirik dengan tauhid, antara kebenaran dengan kebatilan, antara kebodohan dengan ilmu. Oleh karena itu ulama salaf mewanti-wanti “bahwa tidaklah dihidupkan suatu amalan bid’ah kecuali amalan sunnah akan dihilangkan. Sebagian orang melakukan bid’ah dengan niat yang baik. Tetapi walaupun niatnya baik, tetapi perbuatannya buruk. Sama seperti pencuri yang berniat membantu orang miskin. Niatnya baik, tapi mencuri merupakan dosa besar.
Ketujuh: pada hakikatnya pelaku bidah tidak berhukum dengan al-Qur’an dan sunnah dalam menentukan ibadah.
Namun al-Qur’an dan sunnah hanya dijadikan sebagai legitimasi untuk statusnya saja sebagai muslim, tetapi dalam menentukan amaliyahnya, ia lebih mengedapankan hawa nafsunya. Padahal Allah secara jelas dan gamblang menyuruh seluruh umat muslimin agar kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah. Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisa:59).
Mengembalikan kepada Allah maksudnya adalah kembali kepada Al-Qur’an, sedangkan mengembalikan kepada Rasulullah adalah dengan menemuinya selama hidup, dan merujuk kepada sunnahnya setelah Beliau wafat.
Allohu ‘alam. Semoga bermanfaat.