Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam-telah memberikan wasiat kepada umat ini dengan wasiat yang agung, komprehensif, integritas sebagai guru dalam menghadapi segala lini kehidupan ini:
عن أبي هريرة أن رجلاً قال للنبي ﷺ: أوصني قال: لا تغضب فردد مراراً، قال: لا تغضب، رواه البخاري.
“Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi-shallallahu ‘alaihi wa sallam-, berikanlah aku wasiat. Nabi berkata: “Jangan marah, kalimat itu Beliau ulang berkali-kali. “Jangan marah”. (HR. Bukhari).
Wasiat Nabi yang mulia ini muncul atas permintaan salah satu sahabat Nabi yang mulia. Kita ketahui bersama bahwa konsep wasiat itu muncul karena perkara yang diwasiatkan itu adalah perkara besar dan berharga. Oleh karena itu setiap muslim selalu mendengar wasiat takwa minimal sekali dalam seminggu. Selain itu berdasarkan petunjuk Rasulullah dalam shahih Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa siapa yang punya wasiat, maka hendaklah ditulis.
Manhaj Rasulullah dalam mendidik
Inilah salah satu metode Nabi-shallallahu ‘alaihi wa salla-dalam mendidik para sahabat. Tidak diragukan lagi bahwa manhaj Rasulullah dalam mendidik adalah sebaik-baik metode. Sampai menurut Syaikh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Qurasyi, seorang pakar ilmu Dakwah dan Peradaban Islam di Universitas Ummul Qura’, Makkah dalam bukunya “tarbiyat an-nabi li ashabih” (h. 24) menyebutkan kekomprehensifan metode Nabi dalam mendidik para sahabat terlihat secara factual pada kepribadian para sahabat, baik dari aspek ilmu, ibadah, maupun akhlak.
Hal ini terbukti ketika Allah telah menjadikan sahabat sebagai generasi terbaik yang dilabeli dengan khairul ummah (sebaik-baik umat). Keberhasilan para sahabat meraih peringkat khoirul ummah diabadikan oleh Al-Qur’an:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali Imran: 110).
Hukum asal dalam mendidik
Maka dapat disimpulkan bahwa teori hukum asal dalam mendidik anak adalah lembut, bijaksana, halus dan tidak marah. Namun bukan berarti marah dalam mendidik itu terlarang dalam segala aspek.
Ada saatnya marah itu merupakan bentuk edukasi kepada anak agar menjauhi kesalahannya. Misalkan seorang ayah marah saat melihat anaknya melakukan kesalahan fatal, seperti melakukan kesyirikan, menghina Rasulullah, menghina Al-Qur’an, dan kesalahan-kesalahan lainnya yang dianggap fatal. Sebagaimana Ibnu Umar-radiallahu ‘anhuma-marah ketika anaknya mencoba merubah kalimat dalam sabda Rasulullah.
عن ابن عمر -رضي الله عنهما- أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قال: ((لا تَمنعوا إماء الله أن يُصلِّين في المسجد)) فقال ابنٌ له: “إنا لنَمنعهنَّ”، فغضب غضبًا شديدًا، وقال: “أُحدِّثك عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- وتقول: إنا لنَمنعهنَّ؟
“Dari Ibnu Umar-radiallahu anhuma-bahwa Rasulullah-shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian melarang hamba Allah (Wanita) shalat di dalam masjid”. Salah satu anaknya berkata “Sungguh kami akan melarang mereka”. Maka Ibnu Umar marah sejadi-jadinya, dan berkata: “Saya sampaikan hadits Rasulullah, tetapi kalian malah mengatakan “Sungguh kami akan melarang mereka”. (H.R. Ibn Majah).
Kelengkapan hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari /865, 873, 5238, dan Muslim/134, 135, 137, 442, dan an-Nasa’I, 2/42 dari jalur Salim bin Abdullah bin Umar, dan Bukhari /899, dan Muslim /442, dan Abu Dawud/568, dan At-Tirmidzi/577 dari Jalur Mujahid. Diriwayatkan juga oleh Bukhari/900, dan Muslim/136, 442, dan Abu Dawud/566, dari Jalur Nafi’. Dan diriwayatkan oleh Muslim/442 dari jalur Bilal bin Abdillah bin Umar, dan Abu Dawud/567 dari jalur Habib bin Abi Tsabit dari Rasulullah.
Hakikat lembut dalam mendidik
Ini menunjukkan bahwa para sahabat dalam mendidik adakalanya menunjukkan kemarahan, di saat ada pelanggaran berat yang dilakukan oleh anak didik mereka. Namun, konsep kemarahan yang dilakukan oleh para sahabat masih tetap berada dalam koridor “ru’fah” (kasih), “rifq” (lembut), serta tidak sampai pada tingkatan memukul dengan pukulan yang berbahaya, mencaci, menghina, menghardik, dan membentak.
Mengenai konsep ar-rifq (kelembutan) menurut imam Sufyan al-Tsauri adalah “meletakkan sikap yang bijak secara proporsional, lembut ditampilkan pada waktu yang lembut, marah diletakkan pada waktu marah”. Konsep yang dikembangkan oleh para sahabat ini sejalan dengan prinsip yang diajarkan oleh Rasulullah dalam mendidik sebuah rumah tangga. Rasulullah bersabda:
إذا أراد الله بأهل بيت خيراً أدخل عليهم الرفق في كل شيء
“Jika Allah menginginkan terhadap rumah tangga itu kebaikan, maka Allah akan masukkan sifat kelembutan dalam semua urusan mereka” (HR. Ahmad (40/488), nomor 24427, dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/337) nomor 8418).
Kunci keberhasilan dalam mendidik keluarga, ketika kelembutan menjadi prioritas dalam Standar Operasional Prosedur (SOP). Maka selayaknya sikap keras, perbuatan memukul, membentak, menghardik yang masih berjamur di berbagai instansi pendidikan, pendidikan keluarga, dan khususnya lembaga pendidikan yang berbasis pondok/boarding sudah mulai dihilangkan.
Sebab kalau dianalisa hadits Aisyah-radiallahu ‘anha-dengan redaksinya yang berbeda-beda, maka metode mendidik yang didasari dengan kelembutan akan menghasilkan output yang luar biasa, di antaranya, pertama. Meraih kecintaan dan keridhaan Allah. Kedua, berpotensi meraih segala bentuk kebaikan. Ketiga, Allah akan menjamin keberhasilan dari pendidikan tersebut.
Semoga bermanfaat.