Di antara bentuk bijaksananya hukum Islam terhadap para pemeluknya (mukallaf) adalah ketika syariat ini membolehkan menggabungkan dua salat pada kondisi-kondisi tertentu, seperti antara menggabung salat zuhur dengan Ashar dan maghrib dengan Isya.
Tentu ini adalah bentuk perhatian agama yang mulia ini kepada umat ini, agar mereka tidak merasa kesusahan pada kondisi-kondisi yang memang menuntut mereka mempersingkat ibadah shalat tanpa mengurangi pahalanya.
Untuk itu dalam berbagai momen Nabi shallallahu alaihi wa sallam melakukan jama’ antara Zuhur dengan Ashar (Dzuhrain) dan Magrib dengan Isya; (Isyain).
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ . قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ : لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ ؟ قَالَ : كَيْ لا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ .
Dari Said bin Jubair, dari Ibnu Abbas radiallahu anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjama’ antara salat Zuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’ di Madinah, bukan karena sebab takut dan bukan pula karena hujan. Said bin Zubair mengatakan kepada Ibnu Abbas: Kenapa Nabi melakukan itu? Ia menjawab: Agar tidak memberatkan umatnya”. (HR. Muslim).
Dalam konteks ini mazhab Hambali merupakan mazhab yang lebih luas dalam masalah udzur-udzur yang membolehkan jama’. Sepertinya mazhab Hanbali mengambil isyarat dari perkataan Ibnu Abbas di atas yaitu “bukan sebab takut, dan bukan sebab hujan”. Sebagaimana disebutkan imam al-Bahuti al-Hanbali dalam kitab Kasyfa al-Qana’ (2/5). Al-Bahuti menyebutkan Furqon ada 8 kondisi yang boleh seseorang menjamak salat.
- Musafir. Bagi orang yang sedang musafir, boleh baginya untuk meng-qashar shalat ruba’iyah (yang berjumlah empat rakat) sebagaimana boleh baginya untuk menjamak shalat. dengan syarat safar tersebut bukan dalam rangka melakukan perkara-perkara yang makruh apalagi perkara yang haram.
- Sakit. Bisa juga diqiyaskan dengan orang yang kesusahan atau adanya kelemahan dalam dirinya. Untuk itu boleh bagi wanita yang mustahadah (Wanita yang keluar darinya darah penyakit). Karena secara subtansial Wanita mustahadah merupakan wanita yang sedang sakit. Bahkan Imam Ahmad melihat orang yang sakit itu lebih dahsyat (lebih layak menjama’) daripada orang yang bersafar.
- Bagi wanita yang menyusui. Jika ia menemukan kesulitan dalam bersuci.
- Bagi orang yang susah Untuk bersuci, baik kesusahan bersuci menggunakan air atau tayamum untuk setiap salat. Seperti seseorang yang sudah tua renta. Karena jama’ shalat diperbolehkan bagi orang yang musafir atau orang yang sakit dengan iIlat adanya masyaqqah (kesusahan). Maka makna tersebut ditemukan pada orang-orang yang kesusahan untuk bertaharah disebabkan karena tua, dan sebagainya.
- Bagi orang yang kesusahan untuk mendeteksi waktu salat, seperti orang yang buta, orang yang tuli. Keduanya susah untuk mendeteksi waktu shalat.
- Bagi wanita yang mustahadah atau yang serupa hukumnya dengan mustahadah, seperti seorang lelaki kencingnya terus menerus keluar (salas baul) atau darah dari hidungnya senantiasa menetes.
- Ketujuh dan kedelapan, yaitu bagi orang yang memiliki kesibukan, dimana kesibukan tersebut boleh baginya untuk meninggalkan salat Jumat dan jamaah. Seperti orang yang takut atas dirinya bahaya, atau takut hartanya dirampok atau dirampas, atau apabila ia meninggalkan salat jamaah atau salat Jumat, maka akan memberikan mudharat yang besar untuk kehidupan keluarganya.
Inilah delapan uzur yang membolehkan seseorang menjamak shalat. Tentu setiap mazhab akan berbeda, mengenai sebab-sebab bolehnya menjamak. Semoga ini bisa menjadi alternatif bagi orang-orang secara fakta banyak menemukan kesulitan, sedangkan ia tidak mau kehilangan shalat, karena agungnya perkara shalat.
Prinsip daripada bolehnya menjama’ shalat adalah menghilangkan kesusahan bagi umat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abbas radiallahu anhuma di atas.
Oleh: Makmur Dongoran, Lc, M.S.I (Pembina dan Pengasuh KSI).