Sahabat Ibnu Abbas-radiallahu ‘anhu berkisah tentang pengalaman beliau saat bermalam di rumah bibinya Maimunah istri Rasulullah. Ia mengisahkan:
Sebagaimana yang sudah sering disampaikan baik melalui tulisan maupun lisan bahwa hukum asal dalam bermuamalah (pekerjaan) adalah boleh selama tidak ada indikasi yang mengarah kepada yang haram.
Imam Abu Al-Izz Al-Hanafī-ulama besar mazhab Hanafiyah- dalam kitabnya syarh al-aqīdah at-tahāwiyah (1/178) menjelaskan bahwa di antara manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa seorang ahli kiblat (berstatus muslim), tidak bisa dipastikan apakah ia ahli surga atau ahli neraka, kecuali orang yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dirinya adalah penduduk neraka atau penduduk surga, seperti sahabat yang sudah dijamin masuk surga, di antaranya; 10 sahabat yang dijamin masuk surga, ahli Badar, atau sahabat-sahabat lainnya. Atau orang yang sudah dicap masuk neraka seperti Abu Lahab dan istri (tercantum dalam surah Al-Lahab).
Manusia diberikan fitrah untuk mencintai anaknya, tidak ada manusia yang normal akal fikirannya kecuali ia pasti menyayangi anaknya. Bahkan sekelas Fira’un yang dicap sebagai manusia terjahat sepanjang sejarah manusia pun ketika disodorkan kepadanya seorang anak kecil yang bernama Musa alaihissalam, hati kecilnya menerima dan menyayangi Musa yang waktu itu masih bayi.
Hukum asalnya bahwa orang yang sudah meninggal dunia haram hukumnya untuk menyingkap aibnya selama di dunia.